Kalau mengingat-ingat apa yang pernah disampaikan oleh Soe Hok Gie
bahwa politik itu kotor, bisa diterka-terka memang, bahwa bisa jadi politik itu
kotor. Tapi apakah kekotoran politik itu bersifat bawaan? Atau kekotoran
politik hanyalah sebuah keniscayaan yang tidak terelakkan karena kehidupan umat
manusia ini dinamis? Hingga detik ini, kita mengamini bahwa menjadi rahasia
umum bahwa dalam politik di Negeri ini--bahkan di dunia kampus tempat saya
tinggal sendiri, terdapat dosa-dosa yang menyebalkan. Pada batasan ini, apa sih
politik itu? Apa makna politik ini ketika ia berada di tubir-tubir pra pesta
demokrasi?
Arestoteles pernah berujar dengan kesimpulan begini. Bahwa yang
membedakan manusia dengan binatang itu adalah manusia punya persepsi baik dan
jahat, adil dan zolim, beda dengan binatang. Mereka tidak punya itu. Dengan
demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa perangkat yang menjadikan manusia
memiliki keunggulan tersendiri adalah nurani. Nurani yang dibangun di atas landasan
utuh kemanusiaan hingga mewujudkan prinsip etik. Sayangnya, kehidupan itu
sungguh pun kejam. keinginan hanya akan tetap menjadi keinginan ketika ia tidak
diupayakan dengan cara apa pun, dan dalam cara apa pun itu terdapat ‘kepentingan-kepentingan
dengan laku yang memuat dosa-dosa yang menyebalkan. Persoalannya kemudian
adalah apakah kita mesti dikendalikan secara utuh oleh kepentingan itu, atau
keinginan itu mesti dikekang dengan cakram rem yang bernama kesadaran diri yang
dilandasi oleh nilai-nilai kebaikan kolektif?
Sekarang kita tengah dekat dengan Pemilihan umum serentak. Hingga
detik ini jika kita berjalan-jalan kemana pun kita akan berjumpa dengan paslon
atau wajah-wajah legislator yang segar tengah dipasarkan. Tidak banyak yang
tau--atau mungkin telah menjadi rahasia umum pula, bahwa ada cerita-cerita
menyedihkan di sana yang dibalut dalam sengitnya persaingan.
Bicara tentang hidangan utama pesta pemilihan umum ini, media
sosial juga tidak tinggal diam. Ia turut menampilkan citra dukungan yang
diberikan oleh Pendukung dua pasang calon Pemimpin Bangsa sehingga makin
semaraklah pesta ini. Yang jadi soal adalah ketika semarak pra pesta ini
memekakkan telinga batin kita sebagai masyarakat awam hingga ia memperkeruh
akal sehat. Terlebih di medsos. Uh, kalau mengingat-ingat istilah cebong
dan kampret, kaum bumi datar, kaum unta jenggot, berita-berita hoax dan ujaran
kebencian lainnya, tentu kita menyadari mestinya hal ini haruslah bisa digali
'itibarnya. Maksudnya, bahwa memang ini merupakan hal alamiah dalam dinamika
sosial, mafhum pula disadari bila ini merupakan proses pendewasaan masyarakat
kita dalam upaya menemukan kebaikan bersama dalam menentukan nilai yang
manusiawi dalam ber-Indonesia. Meskipun begitu, kita tidak bisa untuk tidak
perduli; bahwa ini haruslah diwaspadai karena pada pra kontestasi politik,
ibarat sungai yang dipenuhi oleh limbah-limbah sampah ia bisa sewaktu-waktu
menggenang dan membanjiri dataran nalar sehat kita. Bayangkan sampah-samlah itu
terlalu banyak. Bisa ditebak akan timbul wabah penyakit atau ia bisa menjadi
air bah yang meluluh lantahkan diri kita. Akhirnya, kita terkontaminasi.
Akhirnya akan sulit menanam bibit kebaikan di atas dataran akal sehat yang
implikasinya akan sukar mengekang cara dalam mencapai kepentingan tersebut agar
tetap berada dalam rambu-rambu etika kemanusiaan kita.
Bahwa
politik kita hari ini merupakan medan yang dikekang oleh
sistem demokrasi. Bahwa menurut Arsatillah, komunikasi merupakan
jantungnya
demokrasi, maka untuk mengukur sehat tidaknya demokrasi tersebut bisa
dilihat dari
kualitas komunikasi publik dalam menarasikan politiknya. Dengan
demikian,
berkaca dengan kondisi saat ini, kita bisa tau bagaimana kesehatan
politik hari
ini. Dengan hasil penilaian tersebut, akhirnya kita dapat mengambil
kesimpulan
bahwa politik merupakan cara publik itu untuk bereksistensi. Senantiasa
bergerak di antara kenicayaan dan kebebasan, bertarung di antara
kebermanfaatan
dan kesia-siaan, serta bergulat di antara ketatanan dan ketidak
tatanan—demikian
yang ditulis secara sederhana oleh Arsatillah. Ihktiar yang dibalut
dengan
harapan yang diidamkan, politik pra pesta demokrasi sedari awal hanya
menawarkan kita sebuah momentum untuk berharap dan--mesti, bertaruh
menggunakan modal hak suara
untuk memastikan apakah kita telah benar memposisikan diri sebagai
pemilih dari
siapa pun yang kita inginkan melalui pencitraan diri sebagai pemilih
dengan
komunikasi politik yang sehat dan cerdas, atau Pemilih dengan bentang
kepala yang larut dalam derasnya sungai politik yang kotor.
Oleh : Abdu Syahid (Angkatan PAB 2018)
2:45 WITA, 7 Februari 2018