Sabtu, 16 Februari 2019



Merefleksikan Politik Kita Hari ini
Kalau mengingat-ingat apa yang pernah disampaikan oleh Soe Hok Gie bahwa politik itu kotor, bisa diterka-terka memang, bahwa bisa jadi politik itu kotor. Tapi apakah kekotoran politik itu bersifat bawaan? Atau kekotoran politik hanyalah sebuah keniscayaan yang tidak terelakkan karena kehidupan umat manusia ini dinamis? Hingga detik ini, kita mengamini bahwa menjadi rahasia umum bahwa dalam politik di Negeri ini--bahkan di dunia kampus tempat saya tinggal sendiri, terdapat dosa-dosa yang menyebalkan. Pada batasan ini, apa sih politik itu? Apa makna politik ini ketika ia berada di tubir-tubir pra pesta demokrasi?
Arestoteles pernah berujar dengan kesimpulan begini. Bahwa yang membedakan manusia dengan binatang itu adalah manusia punya persepsi baik dan jahat, adil dan zolim, beda dengan binatang. Mereka tidak punya itu. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa perangkat yang menjadikan manusia memiliki keunggulan tersendiri adalah nurani. Nurani yang dibangun di atas landasan utuh kemanusiaan hingga mewujudkan prinsip etik. Sayangnya, kehidupan itu sungguh pun kejam. keinginan hanya akan tetap menjadi keinginan ketika ia tidak diupayakan dengan cara apa pun, dan dalam cara apa pun itu terdapat ‘kepentingan-kepentingan dengan laku yang memuat dosa-dosa yang menyebalkan. Persoalannya kemudian adalah apakah kita mesti dikendalikan secara utuh oleh kepentingan itu, atau keinginan itu mesti dikekang dengan cakram rem yang bernama kesadaran diri yang dilandasi oleh nilai-nilai kebaikan kolektif?
Sekarang kita tengah dekat dengan Pemilihan umum serentak. Hingga detik ini jika kita berjalan-jalan kemana pun kita akan berjumpa dengan paslon atau wajah-wajah legislator yang segar tengah dipasarkan. Tidak banyak yang tau--atau mungkin telah menjadi rahasia umum pula, bahwa ada cerita-cerita menyedihkan di sana yang dibalut dalam sengitnya persaingan.
Bicara tentang hidangan utama pesta pemilihan umum ini, media sosial juga tidak tinggal diam. Ia turut menampilkan citra dukungan yang diberikan oleh Pendukung dua pasang calon Pemimpin Bangsa sehingga makin semaraklah pesta ini. Yang jadi soal adalah ketika semarak pra pesta ini memekakkan telinga batin kita sebagai masyarakat awam hingga ia memperkeruh akal sehat.  Terlebih di medsos. Uh, kalau mengingat-ingat istilah cebong dan kampret, kaum bumi datar, kaum unta jenggot, berita-berita hoax dan ujaran kebencian lainnya, tentu kita menyadari mestinya hal ini haruslah bisa digali 'itibarnya. Maksudnya, bahwa memang ini merupakan hal alamiah dalam dinamika sosial, mafhum pula disadari bila ini merupakan proses pendewasaan masyarakat kita dalam upaya menemukan kebaikan bersama dalam menentukan nilai yang manusiawi dalam ber-Indonesia. Meskipun begitu, kita tidak bisa untuk tidak perduli; bahwa ini haruslah diwaspadai karena pada pra kontestasi politik, ibarat sungai yang dipenuhi oleh limbah-limbah sampah ia bisa sewaktu-waktu menggenang dan membanjiri dataran nalar sehat kita. Bayangkan sampah-samlah itu terlalu banyak. Bisa ditebak akan timbul wabah penyakit atau ia bisa menjadi air bah yang meluluh lantahkan diri kita. Akhirnya, kita terkontaminasi. Akhirnya akan sulit menanam bibit kebaikan di atas dataran akal sehat yang implikasinya akan sukar mengekang cara dalam mencapai kepentingan tersebut agar tetap berada dalam rambu-rambu etika kemanusiaan kita.

Bahwa politik kita hari ini merupakan medan yang dikekang oleh sistem demokrasi. Bahwa menurut Arsatillah, komunikasi merupakan jantungnya demokrasi, maka untuk mengukur sehat tidaknya demokrasi tersebut bisa dilihat dari kualitas komunikasi publik dalam menarasikan politiknya. Dengan demikian, berkaca dengan kondisi saat ini, kita bisa tau bagaimana kesehatan politik hari ini. Dengan hasil penilaian tersebut, akhirnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa politik merupakan cara publik itu untuk bereksistensi. Senantiasa bergerak di antara kenicayaan dan kebebasan, bertarung di antara kebermanfaatan dan kesia-siaan, serta bergulat di antara ketatanan dan ketidak tatanan—demikian yang ditulis secara sederhana oleh Arsatillah. Ihktiar yang dibalut dengan harapan yang diidamkan, politik pra pesta demokrasi sedari awal hanya menawarkan kita sebuah momentum untuk berharap dan--mesti, bertaruh menggunakan modal hak suara untuk memastikan apakah kita telah benar memposisikan diri sebagai pemilih dari siapa pun yang kita inginkan melalui pencitraan diri sebagai pemilih dengan komunikasi politik yang sehat dan cerdas, atau Pemilih dengan bentang kepala yang larut dalam derasnya sungai politik yang kotor.

Oleh : Abdu Syahid (Angkatan PAB 2018)
2:45  WITA, 7 Februari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.:: Satu Nusa Satu Bangsa, Salam Sosial ::.
Silahkan tinggalkan komentar dengan menjunjung tinggi sopan santun khas masyarakat Indonesia. Terima Kasih

Pencarian