LUCKY PRANSISKA Petugas Dinas Pemadam Kebakaran DKI mengangkut karyawan yang terjebak banjir di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, menggunakan mobil pemadam kebakaran, Kamis (17/1/2013). Curah hujan tinggi mengakibatkan dinding sungai Banjir Kanal Barat jebol sehingga air membanjiri ruas Jalan Latuharhari, Dukuh Atas hingga Bundaran Hotel Indonesia. KOMPAS/LUCKY PRANSISKA |
JAKARTA, KOMPAS.com — Masalah banjir belum juga
terselesaikan di Ibu Kota. Jakarta terendam banjir pada babak awal
memasuki tahun 2013. Banjir cukup merata di seluruh wilayah Jakarta.
Sejumlah akses jalan terputus. Air setinggi 20 hingga beberapa meter
menggenangi jalanan Ibu Kota. Banjir pun tak pilih-pilih lokasi, mulai
dari perkampungan hingga Kompleks Istana Kepresidenan kebanjiran.
Curah
hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir membuat volume air
bertambah. Sungai dan waduk meluap. Tanggul pun jebol karena tak mampu
menahan banyaknya air. Namun, banjir seharusnya tak terjadi hanya karena
intensitas hujan yang tinggi itu. Mengapa banjir terus terjadi dan
makin meluas di Ibu Kota?
Pengamat tata kota, Nirwono Joga,
mengatakan, sejumlah faktor turut menyebabkan banjir Jakarta 2013.
Secara umum, telah terjadi perubahan besar pada tata ruang di Jakarta
dan kota sekitarnya, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Faktor
pertama, berubahnya ruang terbuka hijau di Jakarta menjadi kawasan
pembangunan, seperti permukiman, gedung, dan jalan. Resapan air hujan
menjadi berkurang dan akhirnya air mengalir ke jalanan.
"Sebagian
besar banjir yang terjadi di Jakarta ini terjadi di daerah-daerah
tanggapan air, resapan air, yang dulu sejak zaman Belanda memang
diperuntukkan untuk ruang hijau," ujarnya di Jakarta, Selasa
(22/1/2013).
Joga mengatakan, pemerintah harus tegas membatasi
pembangunan komersial di Jakarta. Pendirian bangunan pun harus dicek
kembali apakah telah menyediakan sebanyak 30 persen sumber resapan
sesuai ketentuan undang-undang.
Kedua, sistem drainase yang buruk
di Jakarta. Menurut Joga, seharusnya saluran air berujung ke sungai atau
laut, melainkan ke daerah resapan atau ke dalam tanah. Pemerintah harus
melakukan revitalisasi terhadap sistem drainase di seluruh Jakarta dan
jalan-jalan protokol seperti Sarinah, Thamrin, Sudirman, dan lainnya.
Pemerintah juga perlu membuat sistem drainase eco-drainase yang mengalirkan air ke sumber resapan.
Ketiga,
tidak optimalnya fungsi waduk maupun situ. Dalam catatannya, pada tahun
1990-an, Jakarta memiliki 70 waduk dan 50 situ. Namun, kini hanya
tersisa 42 waduk dan 16 situ. Sebanyak 50 persen di antaranya pun tidak
berjalan optimal. Waduk-waduk di Jakarta dipenuhi tumbuhan enceng
gondok, limbah, dan sampah. Pendangkalan pun terjadi akibat sedimentasi
lumpur. Waduk yang akhirnya mengering kemudian dijadikan daerah hunian.
"Untuk
meningkatkan kapasitas optimalisasi, tentu perlu dilakukan revitalisasi
pengerukan dan penataan. Kalau optimal, waduk bisa menjadi cadangan air
bersih," terangnya.
Keempat, belum dilakukannya normalisasi di
semua sungai. Menurut pengamat dari Universitas Trisakti ini, pemerintah
harus melakukan normalisasi kali sekaligus merelokasi permukiman di
bantaran sungai ke tempat yang layak huni.
"Kita harapkan 5 tahun
ke depan sungai sudah selesai dinormalisasi yang lebarnya saat ini 20-30
meter menjadi 100 meter," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Data
Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo
Purwo Nugroho mengatakan, pasang air laut dalam beberapa hari ke depan
diprediksi tinggi. Pada Senin (21/1/2013), pasang akan memuncak hingga
ketinggian 0,95 meter. Pada Sabtu (26/1/2013), pasang bisa mencapai 1
meter. Sementara pada Minggu depan, pasang bisa mencapai 0,95 meter.
Untuk
diketahui, pada 2007, curah hujan yang mengguyur Jakarta mencapai 320
milimeter. Curah hujan di Jakarta belakangan ini sekitar 95 milimeter
dan di wilayah hulu (Puncak, Bogor) sekitar 75 milimeter. Intensitas
hujan di Jakarta saat ini sedang menurun. Namun, pada akhir Januari atau
awal Februari, diprediksi curah hujan menjadi dua kali lipat.
Untuk
itu, solusi masalah banjir Jakarta, tambah Joga, tidak hanya dengan
melakukan rekayasa teknis seperti membuat sodetan dan gorong-gorong
raksasa. Rekayasa sosial atau mengubah pola pikir masyarakat,
menurutnya, lebih penting dilakukan. Pemerintah dan masyarakat harus
sadar pentingnya ruang terbuka hijau, mengerti bahwa bantaran sungai
bukanlah lokasi hunian. Sadar dengan tidak membuang sampah sembarangan.
Rekayasa teknis tidak akan menyelesaikan masalah banjir tanpa adanya
kesadaran masyarakat itu sendiri.
Jakarta sedang dalam darurat banjir. Pasca banjir, wajib hukumnya bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan dengan cepat atas fasilitas-fasilitas yang rusak. Hal tersebut memang tepat dalam konteks jangka pendek. Namun lebih tepat lagi jika Pemda DKI, juga Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia memikirkan secara jangka panjang bagaimana mencegah banjir yang selalu terjadi. Untuk itu perlu dipikirkan solusi penanganan banjir dengan memperhatikan semangat Reforma Agraria sesuai UUPA 1960. Perlu diketahui UUPA 1960 tidak hanya mengamanatkan redistribusi tanah demi keadilan rakyat, tapi juga membicarakan tentang tata guna tanah. UUPA mencantumkan tantang tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup pada lahan agraria. Pasal 15 berbunyi: “memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah”. Sedangkan Pasal 6 menyebutkan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pasal ini dapat ditafsirkan kehilangan kesuburan maupun hilangnya fungsi tanah dapat mengganggu aspek sosial masyarakat akibat aktifitas terhadap tanah tersebut. Jadi kalau kita sepakat bahwa banjir terjadi akibat adanya pelanggaran terhadap penggunaan pemanfaatan tanah, maka, dalam segala pembangunan atau penentuan kebijakan ke depannya, mulai saat ini reforma agraria dan UUPA 1960 harus segera diimplementasikan dengan sungguh-sungguh.....maaf bukan menggurui...sekedar berwacana saja...
BalasHapusLuar biasa, terima kasih sudah berkunjung ke blog kita, senang bisa berdiskusi dengan agan di sini...
BalasHapussuaraagraria: Sepakat sekali dengan anda mengenai UUPA 1960 mesti diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Namun berdasarkan apa yang saya tangkap dalam wacana anda. Anda cuman menitik beratkan kesalahan kepada pemerintah. Tidak bijak saya pikir kalau anda cuman melimpahkan semuanya kepada "Pemerintah" saja. Sebab untuk menjaga tanah kita, seluruh lapisan masyarakat Indonesia punya peran penting dalam hal ini.
BalasHapusTak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia selalu melimpahkan kesalahan kepada Pemerintah ketika terjadi huru-hara di Negeri ini. Hal ini semakin membuktikan bahwa Bangsa kita masih menganur Budaya Terjajah selama 350 tahun lamanya. Mudah-mudahan anda bukan salah satu dari sekian banyak penduduk Negeri ini yang masih terbelenggu dalam Budaya ini.
Mohon maaf kawan, sama sekali tidak bermaksud untuk menggurui
penyebab banjir
BalasHapussebenarnya adalah faktor pemda tata kota adan masyarakat, lihat Jakarta 2016 sudah cukup signifikan banjir terkurangi, namun justru masalah banjir datang di tempat yang lain